Rabu, 27 Agustus 2025

"Di Antara Pagi dan Senja"

Pagi masih terlalu dini untuk siapa pun membuka mata. Langit belum sempat mengusir sisa-sisa malam, dan dunia masih dibungkus sunyi. Tapi aku telah terjaga. Dengan langkah pelan, aku mendekati kasur kecil di sudut kamar—tempat putri kecilku yang masih balita terlelap, napasnya tenang, wajahnya damai.

Dengan hati yang berat, aku mengusap lembut pipinya. “Maaf ya, Sayang… kita harus berangkat,” bisiknya lirih.

Anak itu meringkuk, memeluk boneka usang kesayangannya. Butuh beberapa menit, beberapa panggilan lembut, hingga akhirnya mata kecil itu terbuka, masih setengah sadar. Aku menyelimuti tubuh mungilnya dengan jaket hangat, lalu menggendongnya keluar rumah yang belum sempat menyambut pagi.

Di mobil tua yang terparkir, aku mengatur posisi jok penumpang agar putri kecilku bisa rebah nyaman. Jaket kecil diselimutkan, boneka kesayangan dipeluk. Mesin mobil menyala pelan, menyatu dengan sunyi pagi yang belum bangun.

Hari ini sedikit berbeda. Biasanya, aku bertiga berangkat bersama istri dan putri kecilku. Tapi pagi ini, istriku harus tugas luar kantor. Aku hanya bisa mengantarkannya ke stasiun LRT. Setibanya di stasiun, dia langsung pamit mencium tanganku, dan mencium lembut putri kecil kami seraya membisikkan pesan "Hati-hati di jalan. Jangan ngebut ya."

Aku pun mengangguk dan langsung melajukan mobil. Waktu sudah mepet. Perjalanan panjang dimulai. Kota masih sepi, lampu jalan masih kuning pucat. Sesekali terdengar suara dengkuran halus dari bangku belakang. Aku melirik lewat spion, memastikan putri kecilku tetap hangat, tetap tertidur.

Sampai sebuah peluit memecah kesunyian. Seorang polisi menghentikan mobilku. “Surat-suratnya, Pak.”

Aku gugup, khawatir putri kecilku akan melihat. Akan bertanya. Aku mencoba menyelesaikan tanpa suara tinggi, tanpa debat. Benar saja putri kecilku terbangun menatap wajahku, bingung. Tapi aku hanya tersenyum kecil. “Sebentar ya, Sayang…”

Sesaat setelah itu, aku mengirim pesan ke istriku bahwa aku sedikit telat karena ditilang, tak lama istriku membalas. “Mas... aku minta maaf ya..." Sepertinya dia merasa bersalah aku telat karena mengantarkannya ke stasiun LRT. 

Sesampainya di kantor, suasana masih lengang. Ruangan yang seharusnya penuh tumpukan berkas kini menjadi ruang serba guna. Di kamar mandi kecil, aku bergegas memandikan putri kecilku, mengganti bajunya, merapikan rambutnya, lalu menggelar tikar kecil di sudut ruangan.

Sarapan seadanya aku suapkan perlahan. Kadang diselingi tawa kecilnya, kadang rengekan manja karena makanan terasa hambar. Tapi aku menjawab sabar, dengan senyum letih yang tak pernah ditunjukkan pada siapa pun.

Pekerjaan menumpuk. Tapi putri kecilku tak tahu. Ia datang membawa gambar-gambar coretan, ajakan bermain, tanya-tanya polos yang harus dijawab seolah dunia sedang baik-baik saja.

“Yah, lihat… ini gambar aku.”

“Iya, Bagus sekali. Ini Ayah, ya?”

“Iya! Dan ini aku. Kita naik pelangi!”

Aku tersenyum. Dalam hatinya, ia ingin percaya bahwa suatu hari, dunia memang akan seindah itu untuk putri kecilku.

Waktu berjalan lambat. Siang datang, lalu makan siang kembali disuapkan. Di sela-sela tugas, aku memerhatikannya — apakah bosan, apakah butuh sesuatu. Sore menjelang, dan sekali lagi aku harus memandikannya sebelum pulang. Membersihkan tubuh kecil yang lelah, seharian menemaniku bekerja, bukan karena ingin… tapi karena tak ada pilihan lain.

Langit mulai gelap ketika kami tiba kembali di rumah. Putri kecilku sudah terlelap di perjalanan, di pelukan yang sama. Rumah sunyi, seperti tadi pagi. Tapi kini ada sisa tawa anak kecil di dindingnya, dan letih tak terucap di matanya.

Aku baringkan putri kecilku ke tempat tidur, selimuti dengan hati-hati, lalu duduk di sampingnya. Lama aku menatap wajah kecil itu.

“Maaf ya, Boneka Ayah… Ayah belum bisa memberimu pagi yang tenang, siang yang bebas, atau malam yang damai. Tapi Ayah janji… setiap hari Ayah berjuang, agar suatu saat kamu tak perlu ikut lelah seperti ini.”

Lalu aku mengecup keningnya, mematikan lampu, dan menatap gelap dengan mata yang basah—bukan karena lelah, tapi karena cinta yang terlalu dalam untuk dijelaskan dengan kata.

Rabu, 27 Agustus 2025

"Di Antara Pagi dan Senja"

Pagi masih terlalu dini untuk siapa pun membuka mata. Langit belum sempat mengusir sisa-sisa malam, dan dunia masih dibungkus sunyi. Tapi ak...